Subagio Sastrowardoyo (1924-1995) lahir di Uteran, Madiun, Jawa Timur, 1 Februari 1924, meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995. Setelah selesai menempuh pendidikan awal dan menengah, ia kemudian masuk di jurusan Sastra Timur Fakultas Gadjah Mada, Yogyakarta, lulus tahun 1958. Ia lalu melanjutkan studinya di Departemen of Comparative Literature, Universitas Yale di Amerika Serikat, lulus Master of Arts pada tahun 1963.
Sejak mahasiswa ia telah menerjunkan dirinya sebagai pengajar di beberapa sekolah menengah di Yogyakarta. Ia juga pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia Kursus B-1 Yogyakarta (1954-1958) dan kemudian secara berturut-turut mengajar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (1958-1961), SESKOAD Bandung (1966-1971), Universitas Flinders, Australia Selatan (1974-1981). Sejak 1981 ia kembali ke Indonesia dan menjabat Direktur Muda Penerbitan Balai Pustaka (hingga pensiun). Ia juga pernah menjabat anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982-1984), dan setelah pensiun menjadi anggota Dewan Pertimbangan Penerbit Balai Pustaka, anggota kelompok kerja sosial-budaya Lemhanas.
Dengan pengetahuannya yg luas dan daya analisisnya yg tajam, ia sebenarnya merupakan salah seorang esais dan kritikus sastra yg cukup kuat. Hal ini dapat dibuktikan dari pembicaraannya terhadap empat penyair terkemuka Indonesia: Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, dan Rendra dalam buku Sosok Pribadi dalam Sajak (1980). Pembicaraannya terhadap Chairil Anwar dan Sitor Situmorang termasuk pembicaraan yg sangat mendalam dengan daya nalar dan daya analisis yg kuat dan argumentatif. Demikian juga kumpulan esainya Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983), serta Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan (1989) yg memperlihatkan keseimbangan antara kekuatan pikiran dan kecanggihan gaya. Kumpulan esai Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan ini pada tahun 1992 meraih penghargaan Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sampai dengan kumpulan esainya Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1992).
Buku-buku yg telah diterbitkan adalah Teman Duduk (1936), Kejantanan di Sumbing (1965), Simfoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Kroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979), Hari dan Hara (1982), dan Simfoni Dua (1990).
Disamping mendarat hadiah dari majalah Kisah, Subagio juga menerima hadiah atas puisinya "Dan Kematian Makin Akrab" yg dimuat majalah Horison pada tahun 1967. Puisi ini kemudian dijadikan judul kumpulan sepilihan sajaknya yg mencakup lima kumpulan puisinya terdahulu berikut beberapa puisi terbaru yg mencapai seratus judul puisi dan diberinya judul Dan Kematian Makin Akrab (1995). Pada tahun 1971 ia menerima Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia atas kumpulan puisinya Daerah Perbatasan. Tahun 1983 ia mendarat Hadiah Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta untuk bukunya Sastra Hindia Belanda dan Kita. Tahun 1991 ia mendarat Anugerah South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand untuk bukunya Simfoni Dua.
Sejak mahasiswa ia telah menerjunkan dirinya sebagai pengajar di beberapa sekolah menengah di Yogyakarta. Ia juga pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia Kursus B-1 Yogyakarta (1954-1958) dan kemudian secara berturut-turut mengajar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (1958-1961), SESKOAD Bandung (1966-1971), Universitas Flinders, Australia Selatan (1974-1981). Sejak 1981 ia kembali ke Indonesia dan menjabat Direktur Muda Penerbitan Balai Pustaka (hingga pensiun). Ia juga pernah menjabat anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982-1984), dan setelah pensiun menjadi anggota Dewan Pertimbangan Penerbit Balai Pustaka, anggota kelompok kerja sosial-budaya Lemhanas.
Dengan pengetahuannya yg luas dan daya analisisnya yg tajam, ia sebenarnya merupakan salah seorang esais dan kritikus sastra yg cukup kuat. Hal ini dapat dibuktikan dari pembicaraannya terhadap empat penyair terkemuka Indonesia: Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, dan Rendra dalam buku Sosok Pribadi dalam Sajak (1980). Pembicaraannya terhadap Chairil Anwar dan Sitor Situmorang termasuk pembicaraan yg sangat mendalam dengan daya nalar dan daya analisis yg kuat dan argumentatif. Demikian juga kumpulan esainya Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983), serta Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan (1989) yg memperlihatkan keseimbangan antara kekuatan pikiran dan kecanggihan gaya. Kumpulan esai Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan ini pada tahun 1992 meraih penghargaan Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sampai dengan kumpulan esainya Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1992).
Buku-buku yg telah diterbitkan adalah Teman Duduk (1936), Kejantanan di Sumbing (1965), Simfoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Kroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979), Hari dan Hara (1982), dan Simfoni Dua (1990).
Disamping mendarat hadiah dari majalah Kisah, Subagio juga menerima hadiah atas puisinya "Dan Kematian Makin Akrab" yg dimuat majalah Horison pada tahun 1967. Puisi ini kemudian dijadikan judul kumpulan sepilihan sajaknya yg mencakup lima kumpulan puisinya terdahulu berikut beberapa puisi terbaru yg mencapai seratus judul puisi dan diberinya judul Dan Kematian Makin Akrab (1995). Pada tahun 1971 ia menerima Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia atas kumpulan puisinya Daerah Perbatasan. Tahun 1983 ia mendarat Hadiah Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta untuk bukunya Sastra Hindia Belanda dan Kita. Tahun 1991 ia mendarat Anugerah South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand untuk bukunya Simfoni Dua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah Baca Tinggalkan Komentar, Jangan Lupa Follow Blog Ini, Jangan Rasis, Jangan SARA, Jangan Diskriminasi, Jangan Porno, Jangan ALAY