Sewaktu para penduduk desa Tula berkumpul bersama disebuah gereja kecil yg terletak ditengah-tengah perumahan mereka, itulah pagi yg paling indah dan cemerlang di Libanon Utara. Mereka sibuk menggunjingkan hengkangnya Farris Rahal yg terjadi begitu tiba-tiba tanpa meninggalkan keterangan apa pun, menelantarkan seorang perempuan yg baru dinikahinya setengah tahun lalu.
Farris Rahal adalah syekh dan tetua yg memimpin desa itu. Kedudukan mulia itu diwarisinya dari leluhurnya yg telah memimpin Tula sejak berabad-abad silam. Dia memiliki kemampuan yg sangat mengagumkan dan ketegasan perilaku yg mengundang simpati, lesehanan dan penghargaan dari setiap petani Tula, kendati memang umurnya belum gemar dua puluh tahun. Para penduduk mengeluarkan beragam pandangan sewaktu Farris Rahal menikahi Susan.
"Mujur nian Farris Rahal itu. Dia telah merengkuh segala impian yg selalu diperjuangkan semua orang dalam kehidupan ini, lebih-lebih umurnya masih sangat belia."
Dan di pagi itu, sewaktu para penduduk menangkap kabar bahwa Farris Rahal telah memboyong semua kekayaannya, menunggangi kudanya dan meninggalkan desa itu tanpa menyisakan sepotong pesan pun, serentak rasa ingin tahu dan pada gelisah menikam hati mereka. Mereka semua bertanya, gerangan apakah yg tengah berpijar sampai-sampai Farris Rahal tega meninggalkan isteri dan rumahnya, tanah dan tamannya.
Padahal jika mengikuti tradisi yg mewarnai kehidupan masyarakan Libanon Utara itu, mereka semua memiliki sikap santun dan saling berbagi suka-duka. Tradisi itu dipicu dan dikembangkan oleh kesadaran jiwa dan kesadaran kekeluargaan yg telah mengajar dalam diri mereka secara kokoh. Kejadian sekecil apa pun akan selalu dibicarakan secara bersama-sama untuk menemukan musababnya, lantas semuanya saling menawarkan pertolongan yg dapat mereka salurkan, lalu kembali bergelut dengan pekerjaan masing-masing hingga Sang Nasib kembali menggulirkan semangat untuk merajut semangat kekeluargaan.
Peristiwa kepergian Farris Rahal itu pun telah menyedot mereka untuk meninggalkan kesibukan masing-masing dan menyeretnya berkerumun di gereja Mar Tula. Dan mereka pun saling bertukar pikiran atas kejadian yg terasa sangat aneh itu.
Tak lama berselang, muncullah Pendeta Estefan, pemimpin gereja setempat, dengan wajah yg sangat muram. Pada seraut wajah itu, orang-orang dapat menangkap garis-garis derita yg amat mengiris, yg menunjukkan kuatnya nestapa yg mengoyak jiwanya. Setelah terdiam beberapa kilas, ia berkata, "Jangan lontarkan pertanyaan apa pun. Jangan membebaniku dengan sepotong pertanyaan pun. Tadi Farris Rahal telah mengetuk pintu rumahku, sebelum fajar terbit. Aku melihatnya tengah mencengkeram tali kekang kudanya dan dari roman wajahnya terpantul nestapa yg sangat pilu dan luka hati yg berdarah. Dia sempat melontarkan sejumput kata-kata menjawab pertanyaanku atas kunjungannya yg terasa sangat aneh itu: 'Saya kesini untuk mohon diri Pendeta. Saya harus berlayar jauh menyeberangi samudera dan tak akan pernah datang lagi ke negeri ini.'
Lantas Farris Rahal menitipkan secarik amplop yg terjilid rapi yg ditujukan atau sahabat dekatnya, Nabih Malik. Dia memohon bantuanku untuk memberikan surat itu. Kemudian ia melompat ke punggung kudanya dan memacunya kencang-kencang kearah Timur, begitu saja dari hadapanku, tanpa menyisakan secuil kesempatan padaku untuk memahami tujuan kepergiannya yg sangat ganjil."
Seorang penduduk berkata, "Tentu Farris Rahal ingin menceritakan rahasia kepergiannya melalui surat yg diamanatkan kepada Nabih Maki itu."
"Apakah Bapa Pendeta telah menemui isterinya?" Tanya yg lainnya.
Pendeta itu menyahut, "Setelah sembahyang pagi, aku mendatanginya. Aku menjumpaioya tengah mematung diambang jendela dengan mata kosong menerawang jauh, menerkam suatu arah yg tak tampak, seakan-akan ia tengah kehilangan seluruh akal sehatnya. Dan ketika aku bertanya kepadanya tentang Farris Rahal, dia menukas, 'Aku tak tahu, aku tak tahu!' Lalu serta merta ia mengais sedu-sedan laksana seorang bocah yg mendadak menjadi yatim piatu."
Tetapi sewaktu orang-orang tengah khusuk menyimak berita sang pendeta yg masih meneruskan tuturannya, gerombolan manusia itu serentak kaget tiada tara mendengar suara kedalam senjata api yg berasal dari arah timur desa, yg kemudian disambut oleh jerit lolongan pilu seorang perempuan. Beberapa kenal, mereka semua tenggelam dalam keterperangahan dan kebisuan. Tetapi kemudian mereka berlari berhambur kearah kejadian itu. Dari roman wajah mereka terpancar bayangan kebenaran dan kegelisahan yg sangat menyesakkan.
Sewaktu mereka tiba di altar rumah Farris Rahal, mereka menyaksikan suatu pandangan yg sangat memilukan dan mengerikan yg disertai aroma kematian.
Nabih Malik telah terkapar di tanah dengan darah bercucuran dari dadanya. Sementara di sebelahnya, tampak Susan tengah membakari kepalanya sendiri sambil mengoyak-ngoyak jubahnya seraya memekik-mekik lajang, "Nabih, Nabih, mengapa engkau berbuat seperti ini?!"
Semua orang terbungkam, seakan-akan semuanya tengah meresapi buahan tangan-tangan nasib maya yg tengah mencabik jantung mereka dengan jemari esnya. Di tangan kanan Nabih, pendeta itu menemukan secarik surat yg telah disampaikannya tadi pagi. Ia segera meraup surat itu dan dengan tangkas menyelipkannya kebalik jubahnya tanpa terlihat oleh siapa pun yg mengitarinya.
Sesaat kemudian tubuh Nabih yg telah putus nyawanya itu digotong ke rumah ibunya yg seketika teramat berduka. Ibunya menjadi kehilangan akal sehatnya karena keterkejutan yg sangat mendadak, bahkan ia pun kemudian menyusul anaknya ke alam baja, sewaktu menyadari bahwa anak tunggalnya itu telah menjadi sebujur mayat. Sementara Susan yg nyaris pingsan segera dibimbing ke rumahnya kembali. Ia terayun-ayun antara hidup yg tak lagi menyimpan harapan dan kematian yg tengah menggapai-gapainya.
Setiba di rumahnya kembali, dengan langkah yg terbungkuk-bungkuk seperti tengah menanggung beban berat, pendeta Estefan itu segera mengunci pintu. Dikenakannya kacamata, lalu dengan nada yg serupa dengan orang berbisik, dan dengan amat gemetar, ia mulai membaca surat yg telah dicomotnya dari tangan Nabih yg telah mati itu seorang diri.
Sahabatku, Nabih. Desa yg diwariskan leluhurku ini harus segera kutinggalkan. Tinggal di desa ini hanya akan memperpanjang siksaan yg tak berbatas itu, yg melukai dirimu, isteriku, dan aku sendiri. Kutahu engkau memiliki jiwa yg luhur, yg tak akan pernah membiarkan diri melakukan pengkhianatan pada seorang teman atau tetangga sendiri, sebagaimana aku sadar bahwa Susan yg berhati kudus itu sama sekali tak bersalah.
Aku saham bahwa kobar cinta sejauh yg mengikat hatimu dan hatinya berada diluar kuasa kendalimu untuk mematikannya, sebagaimana aku pun yg tak lagi menyimpan harapan. Aku tak pernah memiliki daya untuk menentang kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, seperti ketakmampuanku menentang arus kuat sumiat Kadesha yg sangat besar itu.
Sejak kita masih kecil dan gemar bercengkerama di leladangan, aku telah mahfum bahwa engkau adalah sahabatku yg paling tulus. Percayalah, demi Tuhan sekalipun, engkau masih sahabatku yg paling karib. Aku berharap engkau tetap berpegang teguh pada pikiranmu yg baik tentang masa depan diriku, seperti yg telah engkau tunjukkan dimasa lalumu. Tolong sampaikan salamku pada Susan bahwa aku teramat mencintainya. Tolong pula haturkan maafku padanya lantaran aku telah menyeretnya kedalam perkawinan semu yg sangat hampa. Ceritakan padanya bahwa hatiku pun selalu melarungkan darah yg menghanguskan rasa sedih. Setiap waktu aku hanya kuasa membuang wajahku dari tidur yg risau, karena aku senantiasa menyaksikannya berlutut dihadapan pemujaan Kristus sambil menangis dan memukuli dadanya akibat kebingungan yg sangat menyiksa.
Sunggu, tidak ada prahara yg paling berat bagi seorang perempuan kecuali menyaksikan dirinya sendiri tengah terjebak diantara seorang lelaki yg dicintainya dan seorang lelaki lain yg mencintainya. Susan telah menanggung prahara kurusetra hatinya yg tak berkesudahan. Namun kerena kemuliaan hatinya, tanpa pernah banyak mengeluh, dia menjalankan lugas dan tangung jawabnya sebagai seorang isteri. Sungguh ia telah bersusah-payah setengah mati, namun dia sana sekali tak pernah kuasa membunuh cinta sejatinya kepadamu.
Aku tak lagi sanggup menjadi muara cinta suci yg abadi, yg disulurkan oleh kasih Tuhan. Aku akan melanglang jagad, membelah negeri-negeri jauh dan tak akan pernah pulang. Kuharap Tuhan akan memberikan berkah dan menyelamatkan kalian berdua.
Farris Rahal.
Setelah melipat dan memasukkan surat itu kembali kebalik jubahnya, pendeta Estefan duduk dibalik daun jendela yg terkuak yg mengarahkan pandangannya ke lembah terjal yg sangat jauh. Alam lamunan yg seluas dan sedalam samudera tengah diarunginya. Setelah itu, seusai menuntaskan sendi yg berpusat pada keheningan jiwa, tiba-tiba ia bangkit, seakan baru saja menemukan sebuah rahasia yg sangat mencemaskan, yg tersimpan diantara kepintaran yg jahat dan terselubungi tipu daya yg sangat ruwet, yg melompat dari balik pikirannya.
Pendeta itu memekik, "Kejam nian engkau Farris Rahal! Betapa sederhananya kejahatanmu yg maha agung itu! Engkau telah mengiriminya madu manis yg telah engkau pbnu dengan racun yg mematikan serta menyelipkan taring kematian dalam surat ini. Sewaktu Nabih tengah membidikkan senapannya ke peraduan jantungnya sendiri, jemarimu itulah yg sebenarnya telah meapik pelatuknya dan ambisimu itulah yg mengangkangi perasaannya. Betapa cerdik dan liciknya engkau, Farris Rahal!"
Sambil menggelengkan kepala dan mengelus dadanya, pendeta Estefan kembali ke kursi dengan tubuh gemetar. Dari pematang bibirnya, berpijar setangkai senyum yg menyimpan makna yg jauh lebih pilu dari tragedi itu sendiri.
Seraya sesekali mendongakkan kepalanya untuk mencermati lolongan dan jepit duka para perempuan yg berdatangan dari jantung desa Tula yg berada di dekat Cedar Suci Libanon, pendeta Estefan mulai membuka kitab doa dan pelahan membaca dan merenung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah Baca Tinggalkan Komentar, Jangan Lupa Follow Blog Ini, Jangan Rasis, Jangan SARA, Jangan Diskriminasi, Jangan Porno, Jangan ALAY