Malam hari, sepasang suami istri berbincang di depan pintu keberangkatan
internasional Bandara Soekarno-Hatta. Keduanya akan berpisah setahun
setelah hidup bersama sembilan tahun. Sang suami, Munir Said Thalib,
akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht,
Belanda. Pukul 21.30 WIB. Melalui pengeras suara, seluruh penumpang
pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam
dipersilakan petugas bandara naik ke pesawat. Rombongan orang kulit
putih bergegas, banyak dari mereka adalah warga negara Belanda. Munir
juga akan menggunakan jasa maskapai andalan bangsanya itu. Saat akan
memasuki pintu pesawat, Munir bertemu Pollycarpus Budihari Priyanto,
pilot Garuda yang biasa dipanggil Polly.
Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru yang terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. Mereka bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis. Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu belakang. Diawali percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas bisnis, nomor 3K. Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G. Polly selanjutnya naik ke kokpit di lantai dua untuk bersalaman dan mengobrol dengan awak kokpit yang bertugas. Saat pesawat mundur dan siap tinggal landas, Polly dipersilakan oleh purser Brahmanie untuk duduk di kelas premium karena banyak tempat duduk yang kosong di kelompok termahal itu. Purser adalah pimpinan kabin yang bertanggung jawab atas kenyamanan seluruh penumpang, termasuk kepindahan tempat duduk mereka. Lelaki berseragam pilot kemeja putih dan celana biru dongker itu pun duduk di 11B. Ada dua cerita tentang kepindahan Munir ke kelas bisnis itu, yaitu menurut kisah brahmanie dan polly. Dalam sidang PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi, ÌSaat sedang di depan toilet bisnis, saya berpapasan dengan Saudara Polly. Lalu, Saudara Polly, sambil memegang boarding pass warna hijau, bertanya dalam bahasa Jawa, ÈMbak, nomer 40G nang endi? Mbak, aku ijolan karo kancaku,É (Mbak, nomor 40G dimana? Mbak, saya bertukar tempat dengan teman saya.) tanpa menyebutkan nama temannya. Karena nama temannya tidak disebutkan, saya ingin tahu siapa teman Saudara Polly. Lalu, saya datangi nomor 3K, dan ternyata yang duduk di sana Saudara Munir, yang lalu saya salami. Saudara Polly tidak duduk di 40G, tapi di premium class nomor 11B atas anjuran saya karena banyak tempat duduk yang kosong.Í Sementara itu, dalam wawancara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Polly bercerita, ÌSaya ketemu Munir di pintu pesawat Garuda Indonesia, di bandara Jakarta. Dia tanya di pintu bisnis, ÈTempat duduk ini di mana?É Saya bilang, ÈWah Bapak ini di ekonomi, cuma tempat duduknya yang mana saya tidak hafal.É Kemudian, itu kan antre, ada banyak penumpang lain mau masuk, saya persilakan duluan. Saya sebagai kru lebih baik ngalah, toh sama-sama naik pesawat, nggak mungkin ditinggal. Setelah itu, karena saya mau masuk ke ruang bisnis, mau melangkah ke dalam pesawat, saya bilang kepada Munir, ÈSaya duduk di bisnis, kalau Bapak mau di sini, ya Bapak tanya dulu sama pimpinan kabin, kalau diizinkan ya silakan, bila tidak ya mohon maaf.É Bahasa saya seperti itu. Sudah, itu saja.Í Sebelum pesawat tinggal landas, di kelas bisnis, Yeti Susmiarti menyajikan welcome drink. Penumpang diminta mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus apel. Munir memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu membagikan sauna towel (handuk panas), yang biasa digunakan untuk mengelap tangan, lalu memberikan surat kabar kepada penumpang yang ingin membacanya. Semua layanan itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot Sabur Muhammad Taufik itu tinggal landas. Untuk mengukur waktu tinggal landas dan mendarat secara tepat, industri penerbangan menggunakan istilah block off dan block on.
Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru yang terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. Mereka bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis. Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu belakang. Diawali percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas bisnis, nomor 3K. Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G. Polly selanjutnya naik ke kokpit di lantai dua untuk bersalaman dan mengobrol dengan awak kokpit yang bertugas. Saat pesawat mundur dan siap tinggal landas, Polly dipersilakan oleh purser Brahmanie untuk duduk di kelas premium karena banyak tempat duduk yang kosong di kelompok termahal itu. Purser adalah pimpinan kabin yang bertanggung jawab atas kenyamanan seluruh penumpang, termasuk kepindahan tempat duduk mereka. Lelaki berseragam pilot kemeja putih dan celana biru dongker itu pun duduk di 11B. Ada dua cerita tentang kepindahan Munir ke kelas bisnis itu, yaitu menurut kisah brahmanie dan polly. Dalam sidang PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi, ÌSaat sedang di depan toilet bisnis, saya berpapasan dengan Saudara Polly. Lalu, Saudara Polly, sambil memegang boarding pass warna hijau, bertanya dalam bahasa Jawa, ÈMbak, nomer 40G nang endi? Mbak, aku ijolan karo kancaku,É (Mbak, nomor 40G dimana? Mbak, saya bertukar tempat dengan teman saya.) tanpa menyebutkan nama temannya. Karena nama temannya tidak disebutkan, saya ingin tahu siapa teman Saudara Polly. Lalu, saya datangi nomor 3K, dan ternyata yang duduk di sana Saudara Munir, yang lalu saya salami. Saudara Polly tidak duduk di 40G, tapi di premium class nomor 11B atas anjuran saya karena banyak tempat duduk yang kosong.Í Sementara itu, dalam wawancara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Polly bercerita, ÌSaya ketemu Munir di pintu pesawat Garuda Indonesia, di bandara Jakarta. Dia tanya di pintu bisnis, ÈTempat duduk ini di mana?É Saya bilang, ÈWah Bapak ini di ekonomi, cuma tempat duduknya yang mana saya tidak hafal.É Kemudian, itu kan antre, ada banyak penumpang lain mau masuk, saya persilakan duluan. Saya sebagai kru lebih baik ngalah, toh sama-sama naik pesawat, nggak mungkin ditinggal. Setelah itu, karena saya mau masuk ke ruang bisnis, mau melangkah ke dalam pesawat, saya bilang kepada Munir, ÈSaya duduk di bisnis, kalau Bapak mau di sini, ya Bapak tanya dulu sama pimpinan kabin, kalau diizinkan ya silakan, bila tidak ya mohon maaf.É Bahasa saya seperti itu. Sudah, itu saja.Í Sebelum pesawat tinggal landas, di kelas bisnis, Yeti Susmiarti menyajikan welcome drink. Penumpang diminta mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus apel. Munir memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu membagikan sauna towel (handuk panas), yang biasa digunakan untuk mengelap tangan, lalu memberikan surat kabar kepada penumpang yang ingin membacanya. Semua layanan itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot Sabur Muhammad Taufik itu tinggal landas. Untuk mengukur waktu tinggal landas dan mendarat secara tepat, industri penerbangan menggunakan istilah block off dan block on.
Block off adalah waktu yang menunjukkan saat ganjal roda pesawat di
bandara dilepas dan pesawat mulai bergerak untuk terbang. Block on
digunakan sebagai penanda waktu kedatangan pesawat di bandara tujuan,
yaitu saat ganjal roda pesawat dipasang. Sekitar 15 menit setelah
tinggal landas, pramugari menawarkan beberapa pilihan makanan dalam
kemasan yang masih panas di atas nampan. Di kursi 3K, Munir memilih mi
goreng. Selesai mi, Yeti kembali memberi tawaran minuman, kali ini lebih
banyak pilihan daripada welcome drink. Pilihannya adalah minuman
beralkohol (wiski, gin, vodka, red wine, white wine, dan bir), soft
drink, jus apel serta jus jeruk Buavita, jus tomat Berry, susu putih
Ultra, air mineral Aqua, teh, dan kopi. Munir kembali memilih jus jeruk.
Setelah mengarungi langit pulau Jawa, Sumatera, dan laut disekitarnya
selama 1 jam 38 menit, pesawat GA 974 mendarat di Bandara Changi,
Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Zona waktu Singapura satu jam
lebih awal ketimbang WIB. Awak kabin memberi penumpang waktu untuk
jalan-jalan atau kegiatan apa saja di Bandara Changi selama 45 menit.
Karena keluar dari pintu bisnis, Munir pun lebih cepat mencapai Coffee
Bean dibanding jika keluar dari pintu ekonomi. Usai singgah di kedai
itu, dia kembali menuju ke pesawat melaui gerbang D 42. Di perjalanan
menuju pintu Garuda, dia disapa oleh seorang laki-laki. ÌAnda Pak Munir,
ya?Í ÌIya, Pak.Í ÌSaya dr. Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita. Pak
Munir ngapain ke Belanda?Í ÌSaya mau belajar, mau nge-charge satu
tahun.Í ÌDi mana?Í ÌUtrecht.Í ÌWah, Indonesia kehilangan, dong. Anda kan
orang penting?Í komentar dr. Tarmizi. ÌYaÖ ini perlu untuk saya, PakÍ
timpal Munir sambil tersenyum. ÌAnda kan pernah nulis tentang Aceh.
Bagaimana sih, bisa beres nggak tuh?Í tanya dokter lagi, sambil keduanya
berjalan. ÌAh, itu tergantung niat, Dok.Í ÌMaksudnya?Í ÌKalau niatnya
membereskan, tiga bulan juga beres.Í Kemudian, dokter kelahiran Sumatera
Barat itu mengeluarkan dompet dan memberi Munir kartu namanya sambil
berkata, ÌKapan-kapan, bila perlu, silakan menghubungi saya.Í Munir
menerima kartu nama dr. Tarmizi Hakim, lalu keduanya berpisah. Si dokter
masuk ke kelas bisnis, Munir menuju pintu bagian belakang pesawat dan
duduk di kursi 40G kelas ekonomi, sebagaimana tercantum di boarding
pass-nya. Karena Polly hanya sampai Singapura, Munir pun kembali ke
tempat duduk aslinya untuk penerbangan Singapura-Amsterdam. Total waktu
transit di Changi (antara block on dan block off) adalah 1 jam 13 menit,
jumlah waktu yang digunakan pesawat untuk pengisian bahan bakar,
penggantian seluruh awak kokpit dan kabin, serta penambahan penumpang
dari Singapura. Pesawat tinggal landas dari Changi pukul 01.53 waktu
setempat. Penerbangan menuju Schipol ini dipimpin oleh Kapten Pantun
Matondang, dengan purser Madjib Nasution sebagai penanggung jawab
pelayanan penumpang. Sebelum pesawat mengangkasa, pramugari Tia mengecek
kesiapan penumpang untuk tinggal landas. Saat melakukan kewajibannya,
dia dipanggil oleh Munir yang meminta obat Promag. Pramugari bernama
lengkap Tia Dewi Ambara itu meminta Munir menunggu sebentar karena
pesawat akan tinggal landas dan seluruh awak kabin harus duduk ditempat
masing-masing. Kira-kira 15 menit kemudian, setelah pesawat di
ketinggian aman, Tia mulai membagikan selimut dan earphone, dilanjutkan
dengan makanan pengantar tidur. Saat Tia sampai di 40G, lelaki berkaus
abu-abu dan bercelana jins hitam itu sedang tidur. Tia membangunkannya
dan bertanya, ÌApa Bapak sudah dapat obat dari teman saya?Í ÌBelum.Í
ÌMaaf, kami tidak punya obat.Í Tia lalu menawarkan makanan, yang ditolak
oleh Munir. Namun, lelaki ini meminta teh hangat. Tia pun menyajikan
teh panas yang dituangkan dari teko ke gelas diatas troli. Munir
menerima uluran minuman itu, lengkap dengan gula 1 sachet. Ketika Tia
melanjutkan melayani penumpang lain, Munir melewatinya di gang menuju
toilet. Ini kali pertama Munir pergi ke toilet, sekitar 30 menit setelah
tinggal landas. Tiga jam sudah pesawat besar itu terbang dan sedang
berada di langit India saat Munir semakin sering pergi ke toilet. Ketika
berjalan di gang kabin yang hanya diterangi oleh lampu baca, dia
berpapasan dengan pramugara Bondan Hernawa. Dia mengeluhkan sakit perut
dan muntaber kepada Bondan, serta memintanya memanggilkan dr. Tarmizi
yang duduk di kelas bisnis. Munir juga memberinya kartu nama dokter itu.
Sesuai prosedur untuk situasi semacam ini, Bondan pun melapor kepada
purser Madjib Nasution yang berada di Purser Station. ÌBang, ini Pak
Munir penumpang kita sakit. Buang-buang air, muntah-muntah. Ini ada
kawannya, dokter, tapi saya tidak tahu duduk di mana. Tolong carikan
tempat duduknya,Í ujar Bondan sambil menyerahkan kartu nama dr. Tarmizi.
Madjib mencari penumpang atas nama dr. Tarmizi Hakim di Passenger
Manifest dan menemukannya di kursi nomor 1J. Belum sempat dia beranjak,
Munir sudah berada di depan Purser Station. Sambil memegangi perut,
Munir berkata, ÌSaya sudah buang-buang air, pakai muntah juga. Mungkin
maag saya kambuh. Seharusnya tadi tidak minum jeruk waktu dari
Jakarta-Singapura.Í Munir pun melanjutkan perjalanannya ke toilet.
Madjib dan Bondan lalu mendatangi 1J dan mendapati dr. Tarmizi sedang
tidur di 1K, kursi sebelah kanannya yang, karena dekat jendela dan dia
dapati kosong, lalu dia duduki.
ÌDokter, dokterÖ,Í Madjib berusaha membangunkan. Keduanya mengulanginya
beberapa kali dengan suara lebih keras, tapi tidur dokter bedah itu
tetap tak terusik. Madjib kembali berjumpa Munir di gang dan memintanya
membangunkan dr. Tarmizi sendiri, sementara Bondan pergi ke pantry untuk
melaksanakan tugas terjadwalnya. Akhirnya, dr. Tarmizi bangun. Munir
menjelaskan kondisi tubuhnya yang saat itu tampak sangat lemah dengan
berkata, ÌSaya sudah muntah dan buang air besar enam kali sejak terbang
dari Singapura.Í Dr. Tarmizi mengusulkan kepada Madjib supaya Munir
pindah tempat duduk ke nomor 4 karena tempat itu kosong dan dekat
dengannya. Munir pun duduk di kursi 4D. Dr. Tarmizi mengambil posisi di
samping kirinya. ÌPak Munir makan apa saja dua hari terakhir ini?Í tanya
dokter spesialis bedah toraks kardiovaskular itu. Munir hanya diam,
mungkin akibat nyeri perutnya. Pertanyaan itu disambut oleh Madjib, ÌPak
Munir tadi sempat minum air jeruk, padahal Pak Munir tidak kuat minum
jeruk karena punya maag.Í Munir tetap diam, tidak berkomentar. ÌKalau
maag tidak begini,Í kata si dokter, yang lalu bertanya kepada Munir,
ÌAnda makan apa?Í ÌBiasa saja.Í ÌKemarin?Í ÌBiasa saja.Í ÌKemarinnya
lagi?Í ÌBiasa saja.Í Dokter itu melakukan pemeriksaan secara umum dengan
membuka baju pasiennya. Dia lalu mendapati nadi di pergelangan tangan
Munir lemah. Dokter berpendapat Munir menunjukkan gejala kekurangan
cairan akibat muntaber. Munir kembali lagi ke toilet, diikuti dokter,
pramugara, dan pramugari. Setelah muntah dan buang air, dia pulang ke
kursi 4D, sambil terus batuk-batuk berat. Dr. Tarmizi meminta seorang
pramugari mengambilkan DoctorÉs Emergency Kit yang dimiliki setiap
pesawat terbang. Kotak itu dalam keadaan tersegel. Setelah melihat
isinya, dia berpendapat obat yang tersedia sangat minim, terutama untuk
kebutuhan Munir. Dr. Tarmizi memerlukan infus, tapi tidak ada. Tidak ada
obat khusus untuk sakit perut mulas, juga obat muntaber biasa. Si
dokter pun mengambil obat dari tasnya sendiri. Dia memberi Munir obat
diare New Diatabs serta obat mual dan perih kembung Zantacts dan Promag.
Dua tablet untuk yang pertama dan masing-masing satu tablet untuk dua
terakhir. Dr. Tarmizi lalu meminta seorang pramugari membuatkan teh
manis dengan sedikit tambahan garam di dalamnya. Namun, lima menit
setelah meminum teh hangat itu, Munir kembali ke toilet. Munir rampung
setelah lima menit dan membuka pintu. Dr. Tarmizi lalu membimbing Munir
berjalan menyusuri gang sambil berkomentar kepada purser Madjib,
ÌMengapa infus saja tidak ada padahal perjalanan sejauh ini?Í Di kotak
obat pesawat terdapat cairan Primperam, obat antimual dan muntah, yang
kemudian disuntikkan dr. Tarmizi ke tubuh Munir sejumlah 5 ml (dosis 1
ampul). Injeksi di bahu kiri ini cukup berpengaruh karena Munir kemudian
tidur. Penderitaannya reda selama 2-3 jam. Munir bangun dan kembali
masuk ke toilet. Dia cukup lama berada di dalamnya, kira-kira 10 menit,
dan pintunya pun tidak tertutup dengan sempurna. Madjib memberanikan
diri melongok lewat celah yang ada dan mengetuk pintu, tapi tidak ada
respons dari orang yang sedang menderita didalam sana. Madjib membuka
pintu lebih lebar dan melihat laki-laki 38 tahun itu sedang bersandar
lemas di dinding toilet. Purser Madjib langsung memanggil dokter yang
selama setengah jam terakhir paling tahu kondisi penumpangnya itu. Dr.
Tarmizi mengajak Madjib dan pramugara Asep Rohman mengangkat Munir
kembali ke kursi 4D. Setelah didudukkan di kursi, Munir menjalani
pemeriksaan oleh dr. Tarmizi, dalam gelapnya kabin pesawat yang hanya
diterangi lampu baca. Kegelapan ini keadaan yang tak bisa mereka atasi
sebab demikianlah aturan penerbangan. Pertama pergelangan tangan, lalu
perut. Saat perutnya diketuk oleh si dokter, Munir mengeluh, ÌAduh,
sakit,Í sambil memegang perut bagian atas. Madjib menyarankannya untuk
ber-Istighfar, disambut Munir dengan menyebut, ÌAstaghfirullah Haladzim,
La Illaha Illallah,Í sambil tetap memegangi perut. Pramugari Titik
Murwati yang berada di dekat situ berinisiatif memberi balsem gosok,
tindakan yang dia harap bisa membantu meredakan derita penumpangnya.
Atas persetujuan dr. Tarmizi, Titik menggosok perut Munir dengan balsem
yang bisa memberikan rasa hangat. Munir berkata dia ingin istirahat
karena capek. Dr. Tarmizi membuka kotak obat lagi dan mengambil obat
suntik Diazepam. Kali ini, dokter menyuntikkan 5 mg di bahu kanan, juga
dengan bantuan purser Madjib. Jarak antara kedua suntikan sekitar 4-5
jam. Sesudah suntikan obat penenang itu, Munir masih merasakan mulas di
perut. Lima belas menit berlalu dan Munir ke toilet lagi, ditemani
dokter, purser, serta pramugari. Didalamnya, Munir muntah, diikuti buang
air. Kembali ke tempat duduk, Munir berkata dirinya ingin tidur
telentang. Purser dan seorang anak buahnya membentangkan sebuah selimut
sebagai alas di lantai depan kursi 4D-E dan sebuah bantal di atasnya.
Dia pun berbaring di sana, dengan dua selimut lagi diletakkan di atas
tubuhnya agar hangat. Dr. Tarmizi berkata kepada awak kabin itu supaya
Munir dijaga, dan bahwa dirinya ingin istirahat karena besok kerja (dia
akan melakukan operasi jantung di rumah sakit di Swole) sambil minta
dibangunkan bila terjadi apa-apa dengan Munir. Juga, dia berpesan agar
mereka memastikan dokter dari Amsterdam yang besok masuk ke pesawat
membawa infus. Setelahnya, si dokter kembali ke kursi di 1K dan tidur.
Munir kembali bisa tidur, tapi sering berubah posisi, dan posisi itu
selalu miring, tidak pernah telentang atau tengkurap. Madjib terus setia
menjaga Munir sampai sekitar 3 jam sebelum pesawat mendarat di Bandara
Schipol, saat awak kabin menyiapkan makan pagi penumpang. Madjib
berjalan ketempat duduk dr. Tarmizi dan bertanya apakah perlu dirinya
membangunkan Munir untuk sarapan, yang dijawab dengan anjuran untuk
membiarkan Munir tetap istirahat. Madjib pun melakukan tugas rutinnya
mengawasi lingkungan pesawat. Sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat,
jam 05.10 GMT atau 12.10 WIB, ketika sarapan masih berlangsung dan lampu
kabin masih menyala, Madjib kembali melangkahkan kaki mengunjungi
Ìtempat tidurÍ Munir. Di depan kursi 4D-E, dia melihat tubuh Munir dalam
posisi miring menghadap kursi, mulutnya mengeluarkan air liur tidak
berbusa, dan telapak tangannya membiru. Dia memegang tangan Munir dan
mendapati rasa dingin. Madjib yang kaget bergegas menuju kursi sang
dokter. Dokter memegang pergelangan tangan Munir sambil dengan tangan
satunya menepuk-nepuk punggung. Dia berulang-ulang berujar, ÌPak MunirÖ
Pak MunirÖ.Ì Akhirnya, memandang purser Madjib, dr. Tarmizi berkata
pelan, ÌPurser, Pak Munir meninggalÖ Kok secepat ini, yaÖ. Kalau cuma
muntaber, manusia bisa tahan tiga hari.Í Purser Madjib meminta Bondan
dan Asep membantunya mengangkat tubuh kaku Munir ketempat yang lebih
baik: lantai depan kursi 4J-K. Munir berbaring diatas dua lembar
selimut, kedua matanya dipejamkan oleh Bondan, tubuhnya ditutupi
selimut. Bondan dan Asep membaca surat Yassin di depan jenazah Munir
Said Thalib, empat puluh ribu kaki di atas tanah Rumania. Pada tanggal
12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut
Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah
otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui
siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa
oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14
tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan
bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh
arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum
pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah
telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak
menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak
pernah diterbitkan ke publik. Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi
Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua
Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak
pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya.
Namun demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini
sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim
yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.sumber: wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah Baca Tinggalkan Komentar, Jangan Lupa Follow Blog Ini, Jangan Rasis, Jangan SARA, Jangan Diskriminasi, Jangan Porno, Jangan ALAY