Minggu, 07 Juli 2013

khalil gibran-obor putih

Bulan Nisan hampir habis. Aku masih mengunjung Farris Affandi dan menemuinya di kebun yg indah sambil menatap kecantikannya, mengagumi kecerdasannya dan mendengar hening kesunyian. Aku merasakan sebuah tangan gaib melukiskanku padanya.
Tiap kunjungan memberiku sebuah arti baru pada kecantikannya dan sebuah desahan baru dalam jiwanya hingga ia menjadi sebuah buku yg memiliki lembaran-lembaran yg dapat aku mengerti dan memiliki pujian-pujian yg dapat aku nyanyikan. Namun aku tak pernah selesai membacanya. Seorang wanita yg telah disediakan dengan keindahan jiwa dan raibnya merupakan sebuah kebenaran pada saat yg sana antara membuka dan merahasiakannya. Kita hanya dapat mengertinya dengan cinta dan menyentuhnya dengan kebaikan. Ketika kita berusaha menggambarkan wanita semacam ini maka ia seolah tidak tampak seperti asap.
Selma Karami memiliki jiwa dan raga yg indah. Namun bagaimana aku menggambarkannya pada seseorang yg tidak pernah mengenalnya? Dapatkah orang mati bila mengingat nyanyian Bulbul, keharuman Mawar dan gemericik parit? Dapatkah seorang narapidana yg penuh dengan belenggu mengikuti angin-angin sepoi-sepoi pagi hari? Adakah kebanggaan yg menghalangiku untuk menggambarkannya dengan kata-kata sederhana karena aku tidak dapat melukisnya secara persis dengan warna yg berkilauan? Orang yg lapar di padang pasir tidak akan menolak roti kering jika surga tidak menurunkan mana dan burung-burung puyuh.
Dalam gaun sutera putihnya, Selma langsing seperti cahaya bulan yg datang melalui jendela. Ia berjalan dengan anggun dan berirama. Suaranya rendah dan manis. Kata-kata meluncur dari sepasang bibirnya seperti embun yg jatuh dari daun-daun bebungaan ketika mereka diterpa angin.
Namun di wajah Selma, tak ada kata-kata yg menggambarkan ekspresinya untuk menampakkan penderitaan batin yg paling besar apalagi kegembiraan yg meluap-luap.
Kecantikan wajah Selma tidak klasik. Ia seperti sebuah mimpi dari wahyu yg tidak dapat diukur, diikat atau disalin dengan lukis atau ukiran seorang pemahat. Kecantikan Selma tidak terdapat dalam rambut emasnya tapi dalam kebaikan dan kemurnian yg mengelilinginya. Bukan dalam sepasang mata besarnya namun sinar yg memancar darinya. Bulan dalam kedua bibir merahnya namun dalam kata-katanya yg manis. Bulan dalam lehernya yg jenjang namun dalam rintangan di depan yg diabaikannya. Bulan dalam pribadinya yg sempurna tapi dalam kemuliaan jiwanya yg terkubur seperti cahaya putih yg ada diantara bumi dan langit. Kecantikannya seperti sebait puisi. Namun para pujangga adalah manusia yg tidak bahagia karena bagaimana pun tingginya jiwa mereka menjangkau, mereka tetap tertutup dalam bingkai air mata.
Ia memakai jubah kesedihan yg mendalam melalui hidupnya yg menambah keindahan dan kemuliaannya yg seperti sebuah pohon yg semerbak yg lebih manis ketika dipandang melalui kabut pagi hari.
Kesunyian merangkaikan jiwanya dan jiwaku setiap kali jika salah satu memandang wajah yg lain. Apa yg sedang dirasakan hati dan mendengar suara tersembunyi. Tuhan telah menciptakan dua raga dalam satu jiwa dan pemisahan tidak menghasilkan apa pun kecuali nyeri yg dalam.
Jiwa kesedihan itu akan menemukan ketenangan ketika bersatu dengan pasangannya. Mereka menyatu dengan kasih sayang seperti orang asing yg disambut ketika ia bertemu orang asing yg lain disebuah wilayah asing. Sepasang hati yg bersatu ditengah kesunyian tidak akan dipisahkan oleh kejayaan dan kebahagiaan. Cinta yg dibersihkan oleh air mata akan menyisakan kemurnian dan keindahan yg abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah Baca Tinggalkan Komentar, Jangan Lupa Follow Blog Ini, Jangan Rasis, Jangan SARA, Jangan Diskriminasi, Jangan Porno, Jangan ALAY

Baca Juga:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...