TASARO, dilahirkan dengan nama Taufiq Saptoto Rohadi. Tahun 2000, turun
gunung, meninggalkan tanah kelahirannya Gunung Kidul, dan mulai
mengikuti jalur nasib sebagai wartawan selama lima tahun.
Kini tengah belajar menjadi penulis yang memahami alasan mengapa dia menulis. Sejumlah bukunya telah terbit, antara lain; Samita: Bintang Bersikap di Langit Majapahit (DAR! Mizan, 2005), Wandu (Dzikrul Hakim, 2005) karya terbaik Adikarya Ikapi 2006. Di tahun yang sana, artikelnya, Kontes Kecantikan, Legalisasi Kepura-puraan, mendarat penghargaan dari Menpora RI, bersama empat artikel lainnya dari seluruh Indonesia.
Pitaloka: Cahaya adalah buku I dari trilogi Pitaloka; Cahaya, Mahkota, dan Nirwana. Adaptasi Pitaloka ke skenario berjudul Bubat meraih juara harapan II dalam Lomba Skenario Cerita Nasional 2006 Direktorat Film.
Buku-buku Tasaro yang diterbitkan Syaamil Group; Rumah Hati (2005), Dago 335 (2005), Oh, Achilles (2006), Ini Wajah Cintaku, Honey! (2006), dan Kau Gila Maka Kucinta (2006).
Kini bersama sigaran nyowo-nya, Alit Tuti, tinggal di Lereng Gunung Geulis, Jatinangor, belajar bercocok tanam, menikmati alam, dan mencintai tetangga, sambil terus menulis di atas meja yang di sana terdapat foto klasik ibu-nya, Umi Darijah.
Kini tengah belajar menjadi penulis yang memahami alasan mengapa dia menulis. Sejumlah bukunya telah terbit, antara lain; Samita: Bintang Bersikap di Langit Majapahit (DAR! Mizan, 2005), Wandu (Dzikrul Hakim, 2005) karya terbaik Adikarya Ikapi 2006. Di tahun yang sana, artikelnya, Kontes Kecantikan, Legalisasi Kepura-puraan, mendarat penghargaan dari Menpora RI, bersama empat artikel lainnya dari seluruh Indonesia.
Pitaloka: Cahaya adalah buku I dari trilogi Pitaloka; Cahaya, Mahkota, dan Nirwana. Adaptasi Pitaloka ke skenario berjudul Bubat meraih juara harapan II dalam Lomba Skenario Cerita Nasional 2006 Direktorat Film.
Buku-buku Tasaro yang diterbitkan Syaamil Group; Rumah Hati (2005), Dago 335 (2005), Oh, Achilles (2006), Ini Wajah Cintaku, Honey! (2006), dan Kau Gila Maka Kucinta (2006).
Kini bersama sigaran nyowo-nya, Alit Tuti, tinggal di Lereng Gunung Geulis, Jatinangor, belajar bercocok tanam, menikmati alam, dan mencintai tetangga, sambil terus menulis di atas meja yang di sana terdapat foto klasik ibu-nya, Umi Darijah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah Baca Tinggalkan Komentar, Jangan Lupa Follow Blog Ini, Jangan Rasis, Jangan SARA, Jangan Diskriminasi, Jangan Porno, Jangan ALAY